Anak –anak kita, adalah berkah sekaligus ujian. Ia adalah
anugerah dari Tuhan yang tak setiap orang dipercaya memilikinya. Itulah yang
kami rasakan sebagai sebuah pasangan keluarga yang belum lama menikah. Kami
dikaruniai puteri berumur 4 bulan. Di saat itulah ada saja keberkahan sekaligus
saat-saat merasa diuji. Tentu saja hal ini pernah pembaca alami.
Saat-saat menyenangkan adalah tatkala melihatnya pertama kali
bisa tengkurap dalam usia 3,5 bulan. Banyak yang memuji bahwa pertumbuhan anak
kami begitu cepat. Tapi kami tidak berbesar hati, hal ini karena anak tidak
mungkin bisa demikian tanpa dipacu dan didorong terus untuk bisa melakukan
sesuatu. Sebelum bekerja, biasanya saya menciumi anak saya. Sambil membisikkan
kata-kata positif padanya. “Azka puteriku yang cantik, bapak berangkat ngajar
dulu ya”. Meski belum bisa menjawab, puteri saya ini menatap dengan sangat
tajam, saat-saat seperti itulah saat yang menyenangkan bagi kami.
Saat-saaat menyenangkan yang lain adalah saat anak kami begitu aktif
bergerak. Tangan dan kakinya seolah tak mau berhenti bergerak. Apalagi saat ia
tertawa lepas, rasanya begitu bergetar jantung ini. Ada perasaan tak
tergambarkan saat kita tahu anak kita bisa melakukan sesuatu hal pertama
kalinya. Diuji Bila ada saat-saat menyenangkan dalam kebersamaan dengan
anak-anak kita, sebaliknya ada pula ujian saat bersama mereka.
Anak, bagaimanapun secara psikologis dekat dengan orangtua mereka.
Dalam teori Foucault, bahwa anak adalah bagian tubuh orangtua yang terbelah. Mula-mula
anak tak bisa lepas dari ibunya. Karena ia masih menetek air susu ibu. Tetapi
ketika kelak ia sudah terlepas dari ibunya, ia akan mencoba mengalami masa
(fase) pemisahan antara tubuh ibu dan anak. Di masa-masa awal, apalagi umur
empat bulan, anak kami begitu dekat dengan kami. Akan tetapi, ketika ada orang
baru, anak kami kebetulan begitu akrab dan tak rewel. Tiap anak tentu memiliki
sifatnya masing-masing. Orangtua juga diuji untuk mengenalkan anak-anak mereka
kepada keluarga mereka ataupun orang lain. Bila ia tak diajarkan sosialisasi
semenjak dini, tentu saja hal ini berakibat anak kita menjadi minder atau
pemalu.
Kami bersyukur, empat bulan anak kami tumbuh dan berkembang tidak
minder apalagi menangis (rewel) bersama orang lain, terlebih keluarganya. Ujian
kedua adalah saat anak kami menangis. Saat itu kami benar-benar diuji untuk
tidak membentak apalagi marah. Kita tahu, membuat anak tak menangis tak selalu
mudah. Azka, anak kami pun demikian halnya. Sebelum tidur, biasanya kami
bergantian menggendongnya bahkan sampai dua atau tiga jam. Tentu saja hal ini
melelahkan. Setiap seperti itu, kami pun tersentuh agar kami tidak membentak
apalagi berkata tak baik pada anak kami. Tentu saja apa yang saya alami, pernah
ayah-bunda alami, menjadi orangtua adalah berkah, sekaligus ujian.
Ada
saatnya anak-anak kita menguji kita, dan kita tak boleh sembarangan
memperlakukan ujian Tuhan ini. Kita dituntut sabar dan penuh kasih.
*)
Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Penulis Buku Ngrasani (2016), Guru MIM PK
Kartasura
*)
Tulisan dimuat di Anggunpaudkemendikbud 9 januari 2017
Komentar
Posting Komentar