Jika Anak Kita Suka Memukul


 By Arif Saifudin Yudistira*)

     Anak-anak memiliki energi yang kuat. Terkadang orang dewasa sering meremehkan adanya energi anak yang kuat ini. Energi mereka muncul saat mereka marah. Mereka biasanya marah karena keinginan mereka tak dipenuhi.

     Selain itu, anak-anak seperti ini, sering marah karena mereka tergolong anak-anak yang punya keinginan kuat ketika menginginkan sesuatu hal. Biasanya ketika mereka dewasa kelak, anak seperti ini cenderung memiliki kepribadian perfeksionis. Bila anak tak bisa mendapati apa yang mereka inginkan, ekspresi mereka tak cukup menangis tapi juga melampiaskan dengan pukulan.

     Hal ini tentu saja berbahaya tatkala mereka berhubungan dengan teman sebaya mereka. Selain menyakiti sesama teman, anak yang suka memukul menjadi semakin terpinggirkan saat teman-teman mereka menjauhinya.

     Bukan hal mudah memang membentuk karakter anak. Kita bisa mengajarkan mereka untuk melampiaskan besarnya energi yang mereka punya pada saluran yang tepat. Itulah mengapa di era sekarang, beladiri tak lagi asing bagi anak-anak. Meski anak usia Sekolah Dasar (SD) sudah diberi pelajaran beladiri, hal itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Mereka memerlukan beladiri untuk menyalurkan energi yang besar pada tubuh mereka yang tak sepenuhnya bisa dikeluarkan melalui permainan biasa seperti sepakbola dan sebagainya.

     Namun, bila dilihat era sekarang di kota-kota besar, anak-anak hendak belajar bela diri justru karena motif lain seperti karena pengaruh sinetron atau dari keinginan orangtuanya. Di kota-kota besar, fenomena saling membully sudah jadi biasa. Orang tua yang anaknya sering dibully kemudian termotivasi untuk menggerakkan anaknya ikut beladiri. Akibatnya anak-anak justru tak dididik untuk menjadi pemaaf tapi sebaliknya diajari untuk dendam.

     Cerita ini saya temukan saat murid saya ikut ajang turnamen Tapak Suci di UNS. Orang tua murid semula khawatir saat melihat jagoannya tanding karena musuh yang dihadapi adalah orang Jawa Timur. Bukan rahasia lagi kalau anak-anak kontingen dari Jawa Timur cenderung "keras". Benar saja, bila peserta sebelumnya ditendang sampai patah tulang, orang tua murid saya justru lega saat tahu anaknya tak sampai patah tulang. Saya bersyukur pula melihat kebiasaan murid saya yang dulu suka memukul saat berkelahi, menemukan ruangnya.

     Ini didukung penuh oleh orangtua nya. Yang membuat bangga, saat maju atas nama sekolah, meski pertama kali tanding, murid saya mendapatkan juara 3. Tentu saja cerita murid saya hanya salah satu cara membuat anak-anak kita bisa mengontrol emosi diri. Mereka belajar meluapkan energi mereka pada waktu yang tepat.

     Tapi memang tak cukup dengan membekali anak beladiri sebagai wadah pelampiasan bagi energi fisiknya. Selain itu, diperlukan pendampingan orang tua agar energi yang besar pada anak tak digunakan untuk menyakiti orang lain, bahkan memukul temannya sendiri.

     Terakhir, barangkali, anak kita yang condong kepada kecerdasan kinestetik , mereka memerlukan olah raga, atau aktivitas belajar yang tak monoton dan membuat mereka gembira dengan menggerakkan tubuh mereka. Orang tua ataupun guru masih memiliki kewajiban mendampingi mereka, serta memberikan petuah agar anak-anak hidup damai berdampingan dengan teman-temannya, bukan malah sebaliknya jago beladiri dan membuat teman-temannya sakit dan celaka.

* Arif Yudistira, peminat dunia pendidikan dan anak, Pengasuh Mim Pk Kartasura, Penulis Buku Ngrasani !!! (2016)

Tulisan dimuat di anggunpaudkemendikbud 25 mei 2017

Komentar

  1. Bentuk perhatian kepada anak adalah mendampingi disaat anak butuh pendampingan seperti menemani belajar dan mengeksplorasi kemampuan nya.

    Namun disaat anak harus belajar mandiri orang tua tinggal memantau dan mengarahkannya.

    BalasHapus

Posting Komentar